Tampilkan postingan dengan label II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label II. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Mei 2011

KONFLIK DI KAWASAN TELUK
A. Perang Teluk I 1980 – 1988 antara Iran – Irak
Sebab-sebab pecahnya perang Teluk I :
1. Persaingan Irak – Iran untuk menjadi pemimpin bangsa Arab
2. Persaingan Irak – Iran tentang masalah Shatt Al Arab ( jalur perairan strategis yang memisahkan Irak dan Iran menuju teluk Persi )
3. Berkobarnya revolusi islam Iran dibawah pimpinan Ayatullah Khomeini



Akibat Perang teluk I:
a. Perekonomian kedua negara hancur
b. Irak banyak memiliki senjata dari Barat dan masuknya pengaruh Barat di Irak
c. Timbulnya perpecahan negara Arab, ada yang pro Irak dan kontra Irak
B. Perang teluk II antara Irak – Kuwait
Sebab-sebab munculnya Perang Teluk II :

1. Terjadinya pelanggaran kuota minyak oleh Kuwait, Arab dan Uni Emirat Arab sehingga produksi minyak melimpah akibatnya harga minyak jatuh
2. Ambisi saddam Hussein untuk tampil sebagai orang yang disegani di kawasan Arab
3. Kuwait dituduh mencuri minyak Irak di Padang Rumeila ( dekat perbetasan dua negara )

Sebab Khusus : serangan Irak pada kuwait pada 22 Agustus 1990
Akibat perang Teluk II :

1. Ladang minyak Kuwait rusak berat
2. Perekonomian Irak mengalami kehancuran serta diblokade ekonomi serta embargo oleh PBB
3. Amerika semakin kuat pengaruhnya di Timur Tengah
4. Perpecahan negara Arab
5. Adanya sikap anti USA

KONFLIK PALESTINA - ISRAEL
Konflik di Arab berpusat pada masalah Palestina – Israel yang muncul sejak diproklamirkannya Negara Israel tahun 1948. Puncaknya terjadi pada tahun 1967 ketika terjadi perang Arab-Israel. Israel beranggapan bahwa tanah palestina adalah tanah mereka ( The promise Land) dan untuk mewujudkannya tahun 1895 Israel membentuk Gerakan Zionisme yang bertujuan :

1. Menghimpun semua orang Yahudi di seluruh dunia menjadi satu bangsa
2. Menjadikan Palestina sebagai tanah airnya
3. Mendirikan negara Yahudi atau Israel di Palestina
4. Melakukan eksodus (pengungsian besar-besaran) ke tanah Palestina

Upaya mengakhiri konflik :

1. Perjanjian Camp David ( 26 Maret 1979) di USA

dengan wakil-wakil antara lain :
a. Israel diwakili PM Manaheim Begin
b. USA diwakili Presiden Jimmy Carter
c. Mesir diwakili Presiden Anwar sadat
Isi Perjanjiannya :
a. Israel akan menarik pasukannya dari wilayah Mesir
b. Pengentian perang diantara kedua negara
c. USA membantu Mesir dan Israel
2. Perjanjian Palestina – Israel (13 September 1993)
Wakil-wakil dalam Perundingan :
1. Palestina diwakili Yasser Arafat
2. Israel diwakili Yizak Rabin
3. Penegahnya Menlu Norwegia Johan Jorgen Holst
Hasil perundingan :
Disebut Deklarasi “prinsip-prinsip Tentang Rencana Pemerintahan Sendiri Sementara Palestina “
Akibat Perundingan :

1. Timbulnya gerakan anti perdamaian baik dipihak Israel dan Palestina
2. Terbunuhnya Yizak Rabin sang arsitek perdamaian
3. Palestina terpaksa mengakui pemerintahan Israel
PERANG DINGIN ( Cold war )
Perang dalam bentuk ketegangan sebagai perwujudan konflik antara blok Barat dan Timur karena memperebutkan pengaruh antara USA yang liberalis kapitalis dengan Uni Sovyet yang sosialis komunis

Berakhirnya Perang Dingin Ditandai oleh :
n Runtuhnya Uni Soviet tahun 1990
n Tumbangnya negara-negara komunis di Eropa Timur
n Bersatunya kembali (Reunifikasi) Jerman

AKIBAT PERANG DINGIN
BIDANG POLITIK
Amerika dan Uni Sovyet saling berusaha berebut pengaruh kepada negara-negara lain supaya berada di pihaknya. Amerika mengembangkan paham demokrasi-kapitalis dan Uni Sovyet mengembangkan paham sosialis-komunis
BIDANG EKONOMI
Amerika dan Uni Sovyet berusaha untuk memberikan bantuan atau pinjaman kepada negara-negara yang menjadi sasarannya. Amerika yang menjadi negara kaya banyak memberikan pinjaman kepada negara-negara yang sedang berkembang termasuk negara Eropa Barat yang hancur akibat PD II
BIDANG MILITER
Munculnya sistem Aliansi / Pakta Pertahanan
Yaitu Negara yang mempunyai musuh yang sama berusaha membentuk wadah guna mempertahankan diri serta melindunginya
CONTOH SISTEM ALIANSI
1. Pembentukan CENTO ( Central Treaty Organization ) tahun 1959, merupakan perubahan dari pakta Baghdad beranggotakan AS, Inggris, Iran, Iran, Turki dan Pakistan
2. METO (Middle East Treaty Organization ), merupakan kerjasama antara AS, Turki, Iran, Iran, Pakistan
3. Pembentukan Pakta warsawa Tahun 1955 yaitu kerjasama pertahanan keamanan negara komunis (misalnya Mongolia, Polandia, Cekoslovakia, Bulgaria, Rumania, Jerman Timur dan Uni Sovyet
4. Pembentukan NATO ( North Atlantic Treaty Organization )1949 yaitu pertahanan militer di Eropa al AS, Kanada, Inggris, Perancis, Belanda, Luxemburg, Norwegia, Denmark, dll
5. Pembentukan ANZUS( Australia, New Zealand, United States ) 1951 yaitu pakta pertahanan negara USA, Australia, Selandia Baru
6. Pembentukan SEATO ( South East Asian Treaty Organization ) 1954 yaitu kerjasama pertahanan di Asia Tenggara antara lain USA, Inggris, Filipina, Singapura dan Selandia Baru
BIDANG RUANG ANGKASA
Amerika dan Uni Sovyet saling berlomba untuk memperebutkan ruang angkasa misalnya :
1. Uni Sovyet meluncurkan pesawat ruang angkasa Sputnik I dan II tahun 1957
2. Amerika mengimbangi dengan meluncurkan Explorer I dan II tahun 1958

Perkembangan Tata Dunia, Hubungan Utara Selatan Dan Munculnya Kecenderungan Yang Bersifat Global dan Regional
n Gerakan Non Blok ( Non Alignment)
Negara yang tidak memihak blok barat maupun blok timur
F Latar Belakang
Munculnya Blok Barat dan Blok Timur yang saling bersaing untuk memperbutkan pengaruh di dunia internasional yang akan mendorong timbulnya persekutuan militer dan perlombaan senjata
F Pelopor Gerakan Non Blok
Yoseph Bros Tito ( Yugoslavia )
Ir. Soekarno ( Indonesia )
Gamal Abdul Nasser ( Mesir )
Jawaharlal Nehru ( India )
REFORMASI
Munculnya Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Reformasi tahun 1998 menuntut adanya pembaharuan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum.
Masalah yang mendesak adalah upaya mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau rakyat. Sedangkan agenda reformasi yang disuarakan oleh Mahasiswa antara lain :
¨ Adili Soeharto dan kroni-kroninya
¨ Amandemen UUD 1945
¨ Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
¨ Otonomi daerah yang seluas-luasnya
¨ Supremasi hukum
¨ Pemerintahan yang bersih dari KKN

Kronologi Reformasi
F Awal Maret 1998 Soeharto terpilih lagi menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya. Namun kondisi ekonomi negara semakin memburuk dan timbul kondisi tidak menentu
F Memasuki bulan Mei 1998, mahasiswa mulai menggelar demonstrasi dan akis keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako, penghapusan KKN dan turunnya Soeharto dari kursi kekuasaannya.
F Pada tangga 12 Mei 1998, terjadi aksi unjuk rasa Mahasiswa Universitas Trisakti yang berlanjut dengan terjadinya bentrokan antara aparat dengan mahasiswa yang menyebabkan gugurnya empat mahasiswa Trisakti yaitu :
§ Elang Mulia Lesmana
§ Heri Hertanto
§ Hendriawan Lesmana
§ Hafidhin Royan
F Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat.
F Pada tanggal 19 Mei 1998, puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Sedang di Yogyakarta hampir sejuta umat berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta menhadiri pisowanan ageng yang dihadiri Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam VIII
F Pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya untuk membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai Presiden Soeharto namun gagal
F Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di istana Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden dihadapan ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung dan menunjuk BJ Habibie untuk menjadi Presiden RI ke 3.

Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998
Pengangkatan Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia
BJ Habibie diangkat menjadi presiden menggantikan Soeharto pada 21 Mei 1998. tugasnya adalah melanjutkan kebijakan yang telah dibuat oleh Soeharto. Kemudian Habibie membentuk Kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan yang terdiri atas 16 orang menteri dari unsur ABRI,PDI,Golkar dan PPP pada 22 Mei 1998.
Upaya-upaya yang dilakukan Habibie :
A. Bidang Ekonomi
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie antara lain :
1. Merekapitulasi perbankan
2. Merekonstruksi perekonomian Indonesia
3. Melikuidasi beberapa bank bermasalah
PROSES MUNCULNYA REFORMASI
DAN JATUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
Faktor munculnya reformasi
A. Adanya ketidakadilan di bidang perekonomian dan hukum selama pemerintahan orde baru selama 32 tahun
B. Krisis Politik
Pembaharuan yang dituntut terutama ditukukan pada terbitnya lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yaitu :
UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilihan umum
UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPR/MPR
UU No. 3 tahun 1985 tentang Parpoil dan golongan karya
UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum
UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi massa
C. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa orde baru terdapat banyak ketidakadilan terutama yang menyangkut hukum bagi keluarga pejabat. Bahkan hkum dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rkayasa dalam proses peradilan.
D. Krisis Ekonomi
Faktor penyebab krisis ekonomi yang melanda Indonesia antara lain :

1. Utang Luar Negeri Indonesia
2. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
3. Pola pemerintahan sentralistis

E. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Soeharto. Puncak dari ketidakpercayaan rakyat adalah terjadinya berbagai aksi demonstrasi menentang pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat misal kenaikan BBM dan ongkos angkutan pada 4 Mei 1998. puncak aksi rakyat dan mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998 dimana terjadi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti oleh aparat yaitu :
Elang Mulia Lesmana
Heri Hertanto
Hendriawan Lesmana
Hafidhin Royan
Yang akhirnya mendorong timbulnya aksi massa lebih besar pada 13 dan 14 Mei 1998 sehingga terjadi aksi anarkis terutama ditujukan pada etnis Cina.
Tuntutan mundur kepada Soeharto semakin menguat setelah munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang ikut menuntut Soeharto mundur diantaranya :
1. Gus Dur
2. Amien Rais
3. Megawati
4. Sri Sultan Hemengkubuwono X
Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme

DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.
Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.

Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action open to them than to choose between being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a passive party in the arena of international politics but that it should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own interests and should be executed in consonance with the situations and facts it has to face.
Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.
Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang lama berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme.
Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Timur.
Tren demokratisasi
Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita tetap dominan?
Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya?
Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor ‘intermestik’, yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri. Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.
Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan perhatian.
Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking, serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat perhatian utama.
Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.
Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.
Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara dalam berbagai isu.
Kendala utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu, demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada masa Perang Dingin.